Waktunya Berbuka / Danau Sore Part 3


Buber, bukber, iftar jama’I, atau apalah itu intinya adalah menunggu adzan maghrib, makan bersama, mengobrol tanpa arah kemudian kembali ke rutinitas masing-masing. Mungkin kamu yang di sana tak pernah tau dari sekian banyak momen buka bersama, malam itu adalah puncak kebencianku terhadap keironisan buka bersama. Sebelumnya aku selalu saja mewajari kebosanan, kesuntukan, serta hal-hal tidak penting lainnya setiap acara buka bersama yang tidak sedikit menguras puluhan ribu rupiah tiap acaranya.

Berita diadakannya buka bersama angkatan alumni SMAku muncul pertama kali ketika seorang teman bernama, Fuadz memulai percakapan di grup angkatan, “Guys, nggak ada yang tertarik buber kah? Kalo ada berapa yang mau? Aku pengen tau” kurang lebih begitu katanya.
Satu persatu anak mulai membalas dengan budaya copy-pastenya, “Aku (1),” “Aku (2),” “Aku (3),” dan seterusnya hingga angka 120 an. Kemudian aku mendapat berita dari teman dekatku yang sekarang menjadi mahasiswi ITS, April, bahwa Lily, juga akan menghadiri acara membosankan tersebut. Aku pun langsung mengubah keputusanku dan tanpa berpikir panjang bahwa aku harus ikut acara tersebut.
Siapa Lily? Mengapa aku sampai rela mengorbankan waktu dan uangku demi bertemu dengannya? Apakah aku perlu beritahu? Ataukah hanya aku dan keheningan malam saja yang menyimpannya rapat-rapat? Sudahlah. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa gadis dengan profile picture teratai merah itu memiliki senyum yang membekas di ingatanku. Selama tiga tahun aku mencoba menginterpretasikan keanggunannya dalam goresan-goresan pensil yang tidak jarang aku kirim kepadanya. Karena Lily juga lah yang membuatku tak berdaya untuk berkata-kata di kantin sekolah saat pengambilan ijazah dulu. Lily lah yang membuatku merelakan satu-satunya novel paling berharga dari Ibuku karya HAMKA, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, kepadanya.

Nyanyian Gus Dur pun mulai berkumandang. Ketika aku menunggu Dana, Rahmad, dan Wika di lobi sekolah sambil menatap pecahnya langit senja saat itu, Vania dan Fara meminta tolong kepadaku untuk mengambil gambar mereka berdua. Sedangkan Lily berada pas di belakang mereka. Aku hanya bisa pura-pura tidak tahu. Bodohnya aku malah menampilkan topengku. Aku berteriak-teriak mengatur posisi Vania dan Fara dari kejauhan berharap Lily menyadari eksistensiku. Aku bukan orang introvert maupun ekstrovert. Aku juga bukan orang dengan kepribadian ganda. Entah aku juga tidak begitu paham jati diriku. Yang pasti aku masih menyukainya setelah sejak setahun lalu Lily dengan tegas mengatakan,
“Terima kasih Suf, baru kali ini ada orang menyampaikan perasaannya padaku. Namun aku lagi nggak ada perasaan apapun pada siapapun saat ini.”

You Might Also Like

1 komentar