Buber, bukber, iftar jama’I, atau apalah itu intinya adalah menunggu adzan maghrib, makan bersama, mengobrol tanpa arah kemudian kembali ke rutinitas masing-masing. Mungkin kamu yang di sana tak pernah tau dari sekian banyak momen buka bersama, malam itu adalah puncak kebencianku terhadap keironisan buka bersama. Sebelumnya aku selalu saja mewajari kebosanan, kesuntukan, serta hal-hal tidak penting lainnya setiap acara buka bersama yang tidak sedikit menguras puluhan ribu rupiah tiap acaranya.
Berita diadakannya buka bersama angkatan alumni
SMAku muncul pertama kali ketika seorang teman bernama, Fuadz memulai
percakapan di grup angkatan, “Guys, nggak ada yang tertarik buber kah? Kalo ada
berapa yang mau? Aku pengen tau” kurang lebih begitu katanya.
Satu persatu anak mulai membalas dengan budaya
copy-pastenya, “Aku (1),” “Aku (2),” “Aku (3),” dan seterusnya hingga angka 120
an. Kemudian aku mendapat berita dari teman dekatku yang sekarang menjadi
mahasiswi ITS, April, bahwa Lily, juga akan menghadiri acara membosankan
tersebut. Aku pun langsung mengubah keputusanku dan tanpa berpikir panjang
bahwa aku harus ikut acara tersebut.
Siapa Lily? Mengapa aku sampai rela mengorbankan
waktu dan uangku demi bertemu dengannya? Apakah aku perlu beritahu? Ataukah
hanya aku dan keheningan malam saja yang menyimpannya rapat-rapat? Sudahlah. Sudah
menjadi rahasia umum, bahwa gadis dengan profile
picture teratai merah itu memiliki senyum yang membekas di ingatanku.
Selama tiga tahun aku mencoba menginterpretasikan keanggunannya dalam
goresan-goresan pensil yang tidak jarang aku kirim kepadanya. Karena Lily juga
lah yang membuatku tak berdaya untuk berkata-kata di kantin sekolah saat pengambilan
ijazah dulu. Lily lah yang membuatku merelakan satu-satunya novel paling
berharga dari Ibuku karya HAMKA, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, kepadanya.
Nyanyian Gus Dur pun mulai berkumandang. Ketika aku
menunggu Dana, Rahmad, dan Wika di lobi sekolah sambil menatap pecahnya langit
senja saat itu, Vania dan Fara meminta tolong kepadaku untuk mengambil gambar
mereka berdua. Sedangkan Lily berada pas di belakang mereka. Aku hanya bisa
pura-pura tidak tahu. Bodohnya aku malah menampilkan topengku. Aku
berteriak-teriak mengatur posisi Vania dan Fara dari kejauhan berharap Lily
menyadari eksistensiku. Aku bukan orang introvert maupun ekstrovert. Aku juga bukan orang dengan kepribadian ganda.
Entah aku juga tidak begitu paham jati diriku. Yang pasti aku masih menyukainya
setelah sejak setahun lalu Lily dengan tegas mengatakan,
“Terima kasih Suf, baru kali ini ada orang
menyampaikan perasaannya padaku. Namun aku lagi nggak ada perasaan apapun pada
siapapun saat ini.”
1 komentar
ehm....
ReplyDelete