Layar nokia kecilku mengingatkanku bahwa seharusnya
aku sudah di rumah seperempat jam yang lalu. Perang dunia ketiga pasti telah menghiasi suasana rumah saat itu. Lupa sudah hal-hal absurd yang kupikirkan di danau tadi. Termasuk
Rizx yang sampai setengah jalan menuju rumah pun tak kunjung kutemui.
Hawa semakin dingin dan seakan
menyadarkanku bahwa kejanggalan sedang menyelimuti. Beberapa puluh meter lagi aku bisa
sampai di rumah. Namun baru kusadari bahwa tak satu pun pengguna jalan yang
kutemui sejak kuputuskan kembali ke rumah setelah bercengkerama dengan keheningan danau sore tadi. Lalu apa yang menggerakkan tangkai-tangkai pohon di pinggir danau itu jika angin pun ikut bersembunyi di balik sepi? Kuhentikan langkah kaki ini karena tiba-tiba,
“Hei... Kau mau cerita sesuatu?”
Aku benar-benar
yakin tidak sedang dalam kondisi koma. Jika memang lucid dream yang aku alami, seharusnya aku mampu meretakkan tanah
di bawahku agar aku bisa terperosok jatuh dan terbangun dari tidurku. Namun
sayangnya tidak. Jelas sekali rasanya bahwa aku sedang dalam kondisi sadar. Aku putuskan untuk memberanikan diri dan menoleh ke sumber suara tersebut.
“Rizx...” ucapku pelan.
Benar sekali, aku tidak menemukan apa yang aku harapkan. Hanya pohon di pinggir danau sore tadi melambai-lambai seakan angin lewat di sela-sela dahannya. Tentu saja pohon-pohon lain di sekitarnya masih terbujur kaku karena memang angin sedang pelit-pelitnya untuk berhembus. Lantas mengapa hanya satu pohon yang bergerak? Alam bawah sadarku memerintahkan anggota tubuhku bergerak menuju pohon tersebut.
Mungkin bagi sebagian orang apa yang aku lakukan selanjutnya hanya dilakukan oleh orang yang telah kehilangan kewarasannya. Yaitu,
Berteriak pada pohon, “Dimana Rizx? Bukankah
yang barusan memanggilku adalah Rizx?!”
Memang pohon adalah makhluk hidup dan tentu saja bukan termasuk yang mempunyai kemampuan menangkap stimulus layaknya manusia dan hewan dengan alat indranya.
Sehingga aku pun tidak terkejut jika diam merupakan jawaban terbaik dari pohon tersebut. Biasanya aku mudah panik
dalam hal sepele yang membuatku merasa tidak nyaman. Detak jantungku mulai meningkat dan aku yakin bukan karena rasa takut maupun malu. Sebuah pengalaman rasa yang tidak aku sadari kemudian terangkat kembali ke alam sadar dan membuatku semakin emosional.
“Rizx! Jika kamu benar-benar ingin
membantuku kenapa kehadiranmu tak nampak saat aku benar-benar yakin ingin temukan
jawaban?!”
Masih bukan Rizx yang aku ajak bicara.
Pohon itu tetap santai bergerak-gerak dan membisu.
Aku memutuskan untuk menghampiri pohon tersebut. Aku tak pernah menyangka bahwa aku melakukan ini semua tanpa rasa takut padahal kejanggalan
jelas-jelas nyata dan terpampang di depan mata. Pernah berpikir bahwa teleportasi merupakan hal yang biasa terjadi? Well, setidaknya itu yang aku alami saat itu dan jangan bertanya bagaimana caranya karena sampai saat ini pun masih menimbulkan pertanyaan besar dalam benakku. Sekedipan mata, aku telah berdiri di depan pohon tersebut.
Pohon tersebut tidak begitu besar.
Posisinya agak miring namun ujungnya menjulang tegak ke atas. Daun-daunnya
lebat dan masih hijau. Mungkin karena musim hujan sebentar lagi lekang berganti kemarau mengingat hanya ada dua musim di tempat aku tinggal.
Aromanya wangi seperti bau durian namun tidak terlalu menyengat. Sejenak aku mulai menyadari bahwa pohon-pohon di sekitarnya jauh berbeda dengan yang
satu ini. Mereka seakan membentuk barisan setengah lingkaran di belakan pohon tersebut
yang membuat pohon tersebut terkesan sedang menatap ke arah danau.
Aku menempelkan telapak tangan kananku ke pohon tersebut. Sebuah cahaya biru muda berpendar dari bagian pohon yang aku sentuh barusan. Semakin lama semakin membutakan pandanganku. Sontak aku melepaskan tanganku dari pohon tersebut yang menyebabkan tubuhku terlontar ke arah danau. Cahaya misterius itu masih terlihat ketika aku berusaha membuka mata. Namun kejadian itu tak berlangsung lama. Karena penglihatanku semakin buram seiring tenggelamnya tubuhku ke dalam danau.
0 komentar