Danau Sore | Part 2


Aku terkejut saat menyadari bahwa aku terbangun di kamar tidurku. Aku masih ingat jelas kejadian yang menimpaku 'barusan'. Setidaknya itu yang aku rasakan. Embun pagi masuk lewat celah-celah ventilasi jendela kamar. Cahaya matahari masih sedikit menerangi langit pagi itu. Aku mencoba mengenali suasana sekitar dan masih tak percaya bahwa aku tidak sedang tenggelam ke dalam danau.

"Yus! cepat turun! Kamu nggak berangkat sekolah apa?" Ibuku memanggil dari bawah.
Aku sangat yakin ini bukan mimpi. Aku menampar diriku sendiri, sakit. Aku benar-benar mengenali kamarku. Lemari baju itu, tepat di samping meja belajar yang sebenarnya adalah meja komputerku. Gitar hitamku juga masih tersandar di celah-celah antara lemari baju dan meja belajar seperti yang biasa kudapati tiap pagi. Ini bukan mimpi. Tidak ada yang ganjil sama sekali.
"Yus! Yang butuh sekolah kamu atau Ibu?!" teriak Ibuku karena tahu aku tidak menjawab panggilannya.
"Iya-iya ini siap-siap Bu..." aku menjawab dengan nada yang menurutku sangat biasa.
"Loh kan, mesti melawan!" Ibuku berteriak kesal.
Untuk teriakan yang itu lebih baik tidak usah aku tanggapi. Karena aku tahu hanya ada satu orang yang paling benar di rumahku, yaitu Ibuku. Sedalam yang aku rasakan, aku tahu bahwa aku ingin sekali mengatakan bahwa aku tidak sedang melawannya. Tapi... sudahlah.
Aku segera turun dari tempat tidur dan mengambil seragam sekolahku. Kali ini aku tidak bisa lama-lama di dalam kamar mandi atau aku akan terlambat di hari pertama masuk sekolah. Biasanya aku menyempatkan diri untuk memetik beberapa nada dari gitarku, namun pagi itu aku memutuskan untuk langsung berangkat sekolah.
"Bu aku berangkat dulu ya..." aku menyalami Ibuku.
"Iya, hati-hati. Yang serius sekolahnya." jawab Ibuku.
"..."
"Kenapa masih diam di situ? terlambat loh nanti." ujar Ibuku sambil sedikit tersenyum.
"Oh nggak kok..." aku masih diam di tempat.
"Iya-iya ini uang sakunya." Ibuku mengeluarkan selembar 10.000 rupiah dari dalam saku dasternya.
"Pura-pura nggak tahu, Bu haha. Berangkat dulu ya... daah" aku langsung keluar rumah dan menuju sekolah dengan sepeda tua pemberian pamanku.
Jam masuk sekolah di SMA lebih pagi dibanding dulu saat di SMP. Hal ini sedikit menggangguku karena aku tidak biasa masuk pukul setengah tujuh pagi. Meskipun begitu aku mencoba untuk membiasakan diri karena aku sendiri yang menginginkan untuk masuk sekolah negeri. Aku merasa ingin bebas. Berharap tidak lagi terkekang seperti apa yang aku alami di sekolahku yang dulu. Terlalu banyak aturan di sekolah swasta yang harus aku taati. Aturan-aturan yang menurutku tidak masuk akal, seperti tidak boleh bermain gitar di depan kelas maupun membawa bekal makan siang dari rumah.
---
Pak satpam sudah bersiap-siap menutup gerbang saat aku sampai tepat ketika bel masuk mulai berdering. Aku merasa sedikit lega hari ini. Selain karena tidak terlambat, akhirnya aku bisa sedikit santai setelah tiga hari masa orientasi sekolah yang telah membuatku gila dan akhirnya... tentu saja seharusnya aku sudah di dasar danau, bukan di sekolah hari ini. Namun entahlah karena ini lah yang terjadi aku jalani saja. Toh akhirnya aku tidak jadi mati, ya kan?
"Yus, kita sekelas!" Rizx berteriak dari kejauhan.
"Oh iya? aku belum lihat." jawabku dingin.
Seharusnya aku merasa lebih bebas. Namun sepertinya nada bicaraku malah seperti orang yang tersiksa. Seperti ada sesuatu yang mengganjal.
"Nggakpapa, mungkin kamu belum terbiasa masuk negeri ya?" timpal Rizx seakan tahu apa yang sedang aku pikirkan.
Meskipun baru tiga hari, aku dan Rizx sudah sangat akrab. Biasanya aku tidak bisa cepat untuk beradaptasi dengan orang baru. Mungkin karena dia begitu friendly sehingga mudah baginya mengumpulkan banyak teman semenjak pertama kali masuk masa orientasi siswa. Sedangkan aku, hanya punya satu teman, yaitu Rizx.
"Ayo Rizx, kamu mau telat apa?" aku mengajak Rizx untuk masuk kelas.
"Oke-oke." jawabnya singkat.
Kelasku ada di lantai dua. Beberapa orang mungkin merasa bersyukur masih mendapat lantai dua karena tidak usah capek-capek naik ke lantai tiga. Namun bagiku lantai dua sangat membuatku tidak nyaman. Aku lebih memilih lantai satu atau lantai tiga saja sekalian. Aku tidak tau pasti alasannya. Hanya saja diapit oleh dua tingkat rasanya seperti ada sesuatu yang kurang pas dengan persepsi perfeksionisku.
---
Aku kira sekolah negeri bakal lebih menarik. Namun pemandangan yang aku saksikan saat itu benar-benar membuatku bosan. Tiap anak dengan buku pelajarannya masing-masing menunduk dan membisu sambil berkomat-kamit membacakan apa yang tertulis di dalamnya. Tidak ada cerita, tidak ada skenario yang bisa aku nikmati dari pojokan kelas saat itu. Padahal aku mengharapkan ada sebuah kejadian menarik pada hari itu.
"Ayo ke kantin..." tanpa aku sadari, Rizx sudah berada di depanku.
"Kamu dulu deh aku masih..."
"Sudah, mereka nggak bakal ramai kok. Daripada kamu mati kebosanan lo haha." Rizx memotongku dan sekali lagi seakan tahu isi pikiranku.
"Iya deh, tapi kamu duluan aja. Aku mau ke kamar mandi sebentar." jawabku datar.
"Oke-oke. Aku tunggu di kantin." Rizx pun keluar kelas dan langsung mengambil tangga turun.
Aku bergegas menuju kamar mandi. Hanya ada lima kelas di koridor lantai dua. Kelasku berada di paling pojok berlawanan dengan posisi kamar mandi. Meskipun hanya lima kelas, bagiku jarak dari kelas menuju kamar mandi cukup jauh untuk membuatku berharap memiliki kemampuan teleportasi. Setelah melewati kelas terakhir menuju kamar mandi, tepatnya di depan tangga antara kelas dan kamar mandi, aku tersentak oleh sesuatu yang belum pernnah aku rasakan sebelumnya. Seseorang sedang berdiri bersandar di pagar koridor seakan sedang menunggu seseorang lainnya keluar dari dalam kamar mandi. Kamar mandi laki-laki dan perempuan kebetulan bersebelahan. Gadis itu sedang menunggu di depan antara tangga dan kamar mandi perempuan. Aku pun melewatinya karena posisi kamar mandi laki-laki ada di paling pojok koridor. Pikiranku kalut dan bertanya-tanya. "Apa yang baru saja terjadi?' aku tidak bisa menjelaskannya. Waktu terasa semakin lambat seiring tak teralihkannya pandanganku terhadapnya. Aku pun terlihat seperti orang linglung ketika berada di depan pintu kamar mandi laki-laki. Ada seruan dari hati kecilku untuk menoleh lagi ke arah gadis tersebut. Berhubung aku teringat bahwa Rizx pasti sudah menungguku di kantin, aku pun mengurungkan niatku dan langsung masuk ke kamar mandi untuk menunaikan hajatku.
Selesainya dari kamar mandi, aku mencari keberadaan gadis yang tadi bersandar di depan tangga dekat kamar mandi perempuan. Tanpa diperhatikan sekali pun, semua orang pasti juga setuju bahwa tidak ada seorang pun yang sedang berada di tempat itu. Siapa dan mengapa aku merasa ada sesuatu yang berbeda dari gadis tersebut? Aku hanya bisa mengubur dalam-dalam pertanyaan itu dan mencoba melupakan kenyataan yang baru saja terjadi meskipun akhirnya dia yang nantinya aku sebut dengan panggilan 'Lily', representasi nyata sebuah teratai di tengah danau yang tenang...

You Might Also Like

0 komentar