Sebuah bangunan yang dijadikan sebagai toko
kelontong dan kos-kosan di Pagesangan IV, Surabaya tidak pernah didatangi oleh
petugas pajak meskipun pemilik bangunan sekaligus toko serta kos-kosan tersebut,
YH (68), tidak pernah membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) selama lebih dari
6 tahun. Kasus tersebut baru diketahui oleh salah seorang tokoh masyarakat di
Pagesangan IV, PA (52) ketika pemilik bangunan tersebut berkonsultasi dengan PA
terkait program pengurusan sertifikat tanah massal oleh Pemerintah Kota
Surabaya pada awal November 2016 lalu. PA menjelaskan bahwa sebenarnya semua rumah
yang berada di gang tempat tinggal PA dan YH dulunya adalah milik Alm. H. Abdul
Khalim yang kemudian diwariskan kepada Hj. Maschurin Halim (50). Tanah seluas
2068 m2 ini lalu dijual oleh Hj. Mashcurin secara kavling kepada perseorangan warga termasuk YH dan PA. Tanah tersebut kini menjadi sebuah gang di Jalan Pagesangan
IV, RT 1, RW 3, Kelurahan Pagesangan, Kecamatan Jambangan, Kota Surabaya.
Sebelumnya, tagihan PBB seluruh tanah tersebut dijadikan satu meskipun tanah sudah dijual kepada beberapa warga secara kavling. Sehingga pembayarannya dibagi rata, tidak sesuai dengan luas tanah masing-masing yang dimiliki oleh warga. Namun
kemudian beberapa warga memecahnya agar pembayarannya menjadi sendiri-sendiri
seperti yang dilakukan oleh PA pada tahun 2005.
PA menambahkan, "Saya sejak awal pindah ke sini sudah paham bahwa tagihan PBB di gang ini masih menjadi satu. Kalau seperti itu kan saya jadinya membayar tidak sesuai dengan tanah dan bangunan yang saya miliki. Oleh karena itu tahun 2005 sudah saya pecah. Warga lainnya juga begitu awalnya masih jadi satu, namun berhubung ada yang rumahnya kecil, ada yang besar, mereka merasa lebih baik tidak dibagi rata sehingga mereka banyak yang memecah tagihan PBB-nya sendiri."
Hingga sekarang, warga yang Surat Pemberitahuan Pajak Terhitung (SPPT) PBB-nya masih belum dipecah adalah YH, MS (60), MU (62), dan NO (71) Sehingga mereka berempat seharusnya membagi rata tagihan PBB-nya. Namun selama 6 tahun sejak 2010 hingga
akhir tahun 2016 ini, YH tidak pernah ikut membayar PBB dari SPPT gabungan tersebut. Dengan kata lain, pajak yang seharusnya dibayar oleh YH selama lebih dari 6 tahun, selalu dilunasi oleh MS, MU, dan NO.
“Lah wong sing kana ya ora tau ngomong (Lah
orang yang sana juga tidak pernah bilang).” ujar MS ketika ditanyai mengapa sebelumnya tidak menyadari bahwa YH belum memecah SPPT PBB-nya sendiri.
NO menambahkan bahwa sejak SPPT PBB warga gang tersebut masih menjadi
satu, YH memang kerap berkelit ketika diminta untuk membayar PBB, “Mesti
ono ae alasane, sing paling sering yo alasan ora nduwe duit. Padahal toko karo
kos-kosane kuwi yo ora tau sepi (Selalu ada saja alasannya, yang paling sering
ya alasan tidak punya uang. Padahal toko dan kos-kosannya tidak pernah sepi).”
Sampai tulisan ini dirilis pun, YH masih susah ditemui untuk dimintai keterangan terkait kasus ini. PA mengatakan bahwa YH sempat meminta PA membantunya mengurus sertifikat tanah yang dimiliki oleh YH. Namun PA tidak bisa menyanggupi karena untuk bisa mengurusnya, masalah PBB harus sudah kelar dan jelas.
Sampai tulisan ini dirilis pun, YH masih susah ditemui untuk dimintai keterangan terkait kasus ini. PA mengatakan bahwa YH sempat meminta PA membantunya mengurus sertifikat tanah yang dimiliki oleh YH. Namun PA tidak bisa menyanggupi karena untuk bisa mengurusnya, masalah PBB harus sudah kelar dan jelas.
Jika tiap tahunnya rata-rata setiap rumah di gang
tersebut dikenai PBB sebesar Rp 150.000 sampai Rp 180.000, maka tagihan yang
tercantum dalam SPPT PBB bersama milik YH, MS, MU, dan NO berkisar antara Rp
600.000 sampai Rp 720.000. Itu berarti, YH telah berhutang antara Rp
900.000 sampai Rp 1.080.000 kepada MS, MU, dan NO. Angka tersebut belum
termasuk hutang YH yang belum dibayar saat SPPT PBB warga gang tersebut masih menjadi satu.
PA menyesalkan perbuatan YH karena menurutnya, YH termasuk orang yang sangat
mampu secara ekonomi berkat usaha toko kelontong dan kos-kosannya, sedangkan MS
hanyalah seorang tukang pijat panggilan, suami MU hanya bekerja sebagai satpam
rumah, dan suami NO hanya bekerja sebagai satpam rumah sakit yang sewaktu-waktu bakal
pensiun karena penglihatannya semakin memburuk. PA hanya berharap, lebih baik
MS, MU dan NO segera memecah SPPT PBB-nya sendiri supaya pembayarannya menjadi sendiri-sendiri sesuai dengan luas tanah dan bangunannya
masing-masing. Apalagi tanah milik YH luasnya sama dengan luas tanah MS, MU, dan
NO digabungkan. PA merasa kasihan kepada MS, MU, dan NO yang telah lebih dari 6
tahun harus membayar pajak dari tanah dan bangunan yang tidak mereka miliki.